Lihatlah rembulan dengan singgasananya..Suatu hari di bulan Februari 2010. di malam hari yang dingin, aspal jalanan mulai merasakan sunyi senyap malam yang mulai merayapi kampus. Di malam itu, atap langit begitu memanjakan mata setiap yang memandangnya, langit yang indah, bertaburkan bintang laksana sorotan mata bidadari yang mengintip bumi, menatap penuh kagum para hamba Allah yang tersungkur sujud menundukkan jiwa kepada Rabbnya. Begitulah lukisan malam, dengan mahkota rembulan yang kokoh di singgasana langit. Ribuan kilometer dibawahnya tampak sebuah pohon beringin raksasa, akarnya menghujam dan rantingnya menusuk setiap lembar angin yang melaluinya. Dedaunannya mulai mengalun syahdu tanda syukur dan tunduk akan kekuasanNya.
Bertabur bintang berlian yang menemani..
Seindah tatapan mentari pagi esok hari..
Tertawa sendu memandangi hati..
Secercah cahaya kan merekah..
Seperti itulah janji dakwah kita..
Tak pernah padam dilalap dunia..
Perlahan, angin berhembus menyelinap dinding masjid tua yang gelap, kusam. Hanya diterangi oleh cahaya lampu pijar 5 watt kami semua hening dalam kebersamaan. Nafas tumbuhan begitu terasa disana. Sinar rembulan yang keperakan menyepuh atap Masjid Ibnusina. Malam yang penuh berkah, karena disana mereka tidak hanya berkumpul untuk mabit, namun berkumpul karena berdzikir, berkumpul karena tuntunan yang menjadi kewajiban semua insan yang mencari arti pengorbanan dan perjuangan di jalan yang telah digariskan oleh Sang Khalik, Yang Maha Penyayang.
Di sela-sela waktu jeda, Ali & Aryo sempatkan mengobrol di teras masjid yang berwarna hijau lumut. Seperti hari-hari biasa, mereka berbincang-bincang seputar masalah dakwah, kulyah, dan mahisyah. Mereka berbincang seru ketika saling menceritakan pengalaman pertama masuk kulyah dengan semangat dan motivasi yang begitu idealis, bahkan terlalu melambung tinggi bagi dua orang biasa seperti mereka. Bagaimana tidak, mana bisa terwujud sebuah impian yang setinggi bintang di langit, yang para astronot pun tak sanggup mengemban misi tadi. Ali adalah tipe orang yang idealis dan perfeksionis, sedangkan Aryo, ia tipe orang yang idealis dan sederhana. Meski pun, memiliki perbedaan karakter, namun karena perbedaan itulah, persahabatan mereka semakin kokoh. Mereka saling memberikan motivasi, pernah suatu waktu Ali mengalami masa depresi ketika ada beberapa teman di jurusan yang mencemooh kelakuannya yang dianggap luar biasa. Ali terbiasa memotivasi diri sendiri dengan menuliskan nama lengkapnya bersama rentetan gelar pada sebuah buku catatan kuliah.
Disana tertulis : Prof. Dr. Ali, M.Eng, banyak orang yang mencemooh, mengatakan bahwa ia ngeyel, sok dan juga sombong. Apalagi ketika ia sadar dan teringat akan kondisi ekonomi orang tuanya dengan segudang impiannya. Bapaknya hanya seorang petani, ibunya seorang pedagang gorengan, untuk mencukupi kebutuhan hidup pun serasa susah minta ampun. Apalagi memenuhi kebutuhan perkuliahannya dan adik perempuannya yang sekarang masih SMP. Karena beasiswa lah dia bisa berkuliah di sini. Kebutuhan hidupnya ia cukupi dengan honor yang ia dapat selepas mengajar anak-anak SD di dekat kampus Unpad. Mungkin, jika kenyataan berkata lain, banyak orang akan lebih menghargainya karena status dan kekayaan orang tuanya. Berhari-hari ia, mengeluh, menggerutu, dalam hati, ia sering mengatakan bahwa Allah benar-benar tidak adil.
”Kenapa Allah begitu kejam dan tidak memilihkan aku terlahir dan besar di keluarga lain yang lebih terjamin. Kenapa aku harus hidup di keluarga ini. Kenapa?!”
Pikiran itu berkecamuk, memenuhi seisi otak dan rongga dada. Ia benar-benar kacau kala itu. Ketika datang suasana mood seperti itu, mendadak sikapnya yang dikenal riang, peramah dan gampang membuat orang tertawa pun hilang seketika. Ia pun berubah menjadi seorang yang pendiam, pemurung dan tidak perduli dengan lingkungan. Melihat perubahan drastis itu, Aryo tahu bahwa ada sesuatu yang sedang hinggap di benaknya. Saat itu, Ali sedang melamun di teras masjid, semakin dalam ia melamun, saat itu tak terasa, rasa kesal begitu dalam merasuk memenuhi rongga dada. Lalu, tangan seorang pemuda menepuk bahu dan mengusap kepalanya.
”Ada apa sahabatku? Kenapa engkau bersedih? Aku lihat sudah beberapa hari iniantum tampak sedih. Ada yang bisa sahabatmu ini bantu?”
Suara itu menyadarkan dirinya. Ia tetap tidak bergeming.
”Kalau antum masih menganggap aku sebagai orang lain, ya pendam saja terus masalahmu itu, mas. Karena kau ndak lagi percaya bahwa aku bisa membantumu. Kita sudah lama menjadi sahabat, antum bahagia, aku pun ikut bahagia. Tapi kalau antum ndak ngasih kesempatan sama aku, mana bisa aku nolongmu, mas?”Kata-kata sahabatnya mulai menyadarkan ia bahwa ia memiliki seorang yang selalu memperhatikannya. Akhirnya ia pun, buka suara,
”Mas, aku gak tau bilang apa lagi. Aku bingung, aku kesel. Andai saja saya terlahir jadi orang kaya, bisa ini lah, itu lah.” ucapnya.Ali pun tersentak kaget, ia tak menyangka sahabat baiknya bertutur dengan begitu dalam, menceritakan latar keluarga dan kondisi keluarganya.
”Oh, aku ngerti masalah sampean,” ujar Aryo.
”Mana bisa antum ngerti mas, nasibmu saja beda sama nasibku. Antum gak ngerti apa-apa!” selorohnya.
”Aku ngerti, mas”
”antum gak bakalan pernah ngerti perasaanku, mas. Ayahku petani biasa, ibuku penjual gorengan!”
”Ayahku kuli bangunan, ibuku penjual jamu! Satu tahun aku jadi buruh panggul, adikku sampai sekarang jadi tukang koran. Rumah kami, Pakaian kami seadanya, sehari makan sehari tidak. Aku juga miskin, mas. Hidup kami lebih susah daripada sampeyan. Adik laki-lakiku setiap hari memungut buku pelajaran di sekitar sekolahan untuk dibaca dijalanan karena terpaksa putus sekolah karena kekurangan biaya. Padahal umurnya baru 9 tahun, masa depannya masih panjang. Tapi aku berjanji, selama aku masih bisa berjalan, selama Allah memberiku kesehatan, selama Allah bersamaku, aku akan berjuang untuk mereka!”
”Kenapa antum harus bersedih, mas. Antum punya bakat ngajar yang luar biasa., IPK antum sekarang pun 3,54. Wawasan antum jauh melebihi seseorang yang telah dewasa. Antum punya semangat yang tidak dimiliki semua orang, Antum istimewa. Masa depan antum begitu cerah. Apa yang antum tangisi? Pekerjaan ayah antum? Atau ibu antum? Lupakah antum siapa yang menyapih diwaktu kecil, selama bertahun-tahun ibu antum membimbing dan mengajarkan tentang kehidupan, karena antumlah jatah waktu tidur malam ibu antum dahulu terganggu. Apakah hanya karena beliau seorang penjual gorengan lantas membuat antum lupa akan jasa beliau. Coba lihat ayah antum, siang malam keringatnya ia peras hanya untuk membahagiakan keluarganya, termasuk antum.Di setiap petak tanah yang ia cangkul, beliau menitipkan secuil harapan agar keluarga antum bisa hidup. Di setiap benih padi yang beliau tebarkan, beliau menitipkan setangkai doa agar antum bahagia. Ibu dan ayah antum, mereka berdua telah mengubur impiannya hanya untuk kebahagiaan anak-anak mereka. Ingatlah, setiap ibu dan ayah pasti mempunyai kasih sayang. Tapi, kasih sayang ibu dan ayah antum, gak bakalan bisa antum dapatkan dari ibu atau ayah orang lain. Ishbir, ya Akhi!”
Kata-kata Aryo begitu menusuk rongga dadaknya yang kurus, kacamatanya pun kini basah oleh tetesan air matanya. Dalam benaknya, langsung terbayang sekelebat wajah ayahandanya yang sudah mulai tua, dengan tulang muka yang menonjol. Ayahnya yang setiap ba’da shubuh berangkat ke sawah bersama sebuah cangkul yang ia sandarkan di bahunya yang kurus. Kemudian bayangan ibunya mulai hadir di benaknya, sosok seorang ibu tua, yang setiap malam mengiris-iris wortel, kol, bawang dan mempersiapkan terigu dan bahan-bahan lain untuk dijadikan gorengan. Semasa SMP, hampir di setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia dan adiknya yang saat itu masih berusia 7 tahun berkeliling berjualan gorengan bersama sang ibu. Siang harinya, mengantarkan rantang berisi makanan siang untuk sang ayahanda yang sedang asik mencangkul di tengah teriknya panas matahari siang. Kemudian mereka menepi di sebuah saung bambu di tengah sawah sambil menyantap makanan siang yang telah disiapkan ibu. Suasana yang ia rindukan sampai sekarang.
Terakhir, ia teringat sms adik perempuannnya yang kini sudah SMP, sms nya berisikan tentang penahanan raport oleh pihak sekolah karena biaya tunggakan biaya semesteran. Semua memori itu hadir begitu saja, Masya Alloh.
Dadanya semakin sesak, keharuan bercampur dengan penyesalan karena telah berpikir salah membuat air matanya semakin deras menyeruak dari matanya.
Aryo segera menepuk-nepuk pundak sahabatnya, kemudian ia mengisahkan sebuah kisah-kisah teladan yang selama ini ia jadikan pelajaran dalam hidupnya. Ia berkisah tentang seorang laki-laki di jaman Rasul yang bernama Julaibib.
”Ada seorang miskin yang mengenakan kain usang pakaian lusuh, perut lapar, kaki tak beralas, berasal dari garis keturunan yang tidak terhormat, tidak punya kedudukan, harta dan keluarga besar, tidak punya rumah untuk berteduh, tidak punya perabotan yang berharga, minum hanya dari air kolam umum yang diambil dengan gayung kedua tangannya, tidur di masjid, tidur hanya berbantalkan tangan, dan berkasur pasir bercampur kerikil. Namun, begitu, dia adalah seorang yang selalu berdzikir kepada Rabb-nya, selalu membaca Kitab Allah, dan selalu berada pada shaf terdepan dalam shalat maupun dalam perang. Suatu ketika dia lewat di dekat Rasulullah. Lalu Rasulullah memanggil namanya dengan nyaring, "Wahai Julaibib, tidakkah kamu menikah?"
Orang itu menjawab, "Wahai Rasulullah, siapalah yang mau menikahkan (puterinya) denganku? Aku tidak punya kedudukan dan tidak pula harta." Beberapa hari kemudian Rasulullah bertemu dengannya. Rasulullah menanyakan pertanyaan yang sama, dan dia pun menjawabnya dengan jawaban yang sama pula. Pada pertemuan yang ketiga Rasulullah mengajukan pertanyaaan yang sama, dan dijawab dengna jawaban serupa. Maka bersabdalah Rasululah,"Wahai Julaibib, pergilah ke rumah Fulan (Rasulullah menyebut nama seorang Ashar) lalu katakan padanya, 'Rasulullah menyampaikan salam untukmu dan memintamu untuk mengawinkanku dengan anak perempuanmu'."
Shahabat Anshar yang dimaksud itu berasal dari keluarga terhormat dan terpandang. Maka, berangkatlah Julaibib menemui sahabat Anshar itu. Shabat Anshar itu mengatakan,"Semoga kesejahteraan tercurah untuk Rasulullah. Tapi bagaimnana bisa aku mengawinkan anakku denganmu yang tidak punya kedudukan dan harta benda?"
Dari dalam anak puterinya yang mukminah mendengar apa yang dikatakan oleh Julaibib dan pesan Rasulullah yang disampaikanya, segera anak perempuan mukminah itu berkata kepada kedua orang tuanya,"Apakah kalian menolak permintaan Rasulullah? Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya!"
Selanjutnya, terjadilah pernikahan yang melahirkan sebuah keluarga yang penuh berkah. Beberapa waktu kemudian datanglah seruan jihad. Julaibib pun ikut perang. Dengan tangannya terbunuh tujuh orang musuh. Namun, dia sendiri juga terbunuh. Dia meninggal dengan berbantalkan tanah dengan penuh keridhaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada prinsip-prinsip yang menghantarkannya kepada ajal. Setelah itu Rasullah memeriksa semua korban dalam perang itu. Dan, para sahabat memberitahukan nama-nama siapa saja yang terbunuh. Tak ada nama Julaibib disebut, sebab memang dia tidak terkenal di kalangan sahabat. Namun Rasulullah ingat sekali Julaibib. Beliau hafal nama itu di tengah nama-nama besar yang terbunuh. Sergah Rasulullah,"Tapi kini aku kehilangan Julaibib."
Rasulullah mendapati jasadnya penuh dengan debu, dan mengusap debu dari wajahnya seraya berkata:"Engkau telah membunuh tujuh orang, lalu engkau sendiri kini terbunuh. Engkau bagian diriku, dan aku bagian dirimu. Engkau bagian diriku dan aku bagian dirimu. Engkau bagian diriku dan aku bagian dirimu. " Ucapan yang merupakan tanda pengenal dari Nabi ini sudah cukup buat Julaibib sebagai tanda dan hadiah.
Sesungguhnya, nilai diri itu ada dalam makna-makna dan sifat-sifat mulia yang ada dalam diri. Kemiskinan dan kelemahan bukan hambatan bagi seseorang untuk mencapai prestasi yang baik, untuk sampai ke tujuan, dan unggul atas orang lain. Maka, berbahagialah orang yang mengetahui harga dirinya, berbahagialah orang yang telah membuat jiwanya bahagia dengan impian yang telah dicapainya, jihad yang diikutinya, dan akhlak baik yang menjadi nilainya. Berbahagialah bagi yang telah menjadi baik sebanyak dua kali, yang berbahagia di dua kehidupan, dan mendapat kemenangan dua kali di dunia dan di akhirat.*
*[Disarikan dari La Tahzan karya fenomenal DR 'Aidh al-Qarni]
ia ikut haru melihat sahabat yang selama ini riang, bersemangat dalam setiap waktunya kini terlihat seperti seorang anak kecil yang menangis. Ia pun tak kuasa, menahan air matanya. Ia ikut menangis.
”Astaghfirulloh,, ya Alloh,, Astaghfirulloh.. ya Rabb.. maafkan aku ya Alloh..” sesegukan Ali sambil menyeka kedua pipinya.
Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki dari dalam masjid menuju teras, kemudian terlihat seorang laki-laki tinggi, berkulit putih dengan tampak jenggot di dagunya memakai kemeja biru yang rapi.
”Assalamu’alaikum akhi, bisa kita lanjutkan Materi Keislaman 3 nya lagi? Teman-teman yang lain sudah pada menunggu”
Ternyata laki-laki yang keluar tadi adalah musyrif kami sekaligus Ketua Lembaga Dakwah Kampus yang selama ini dikenal orang sebagai pemuda yang berwibawa dan bermental baja, ialah kang Yuda Wardhana.
Kepada Seorang Ayah yang berbahagia,
Kubayangkan butir air mata memenuhi pelupuk matamu
saat kau membacakan baris-baris kasih sayang kepada buah hatimu
Kusapa, ada beberapa butir air mata menggantung di sukmaku
hendak menyeruak ke dunia menemani keharuanmu
Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini seperti hari kemarin,
aku hanya bisa membisu coba kutulis beberapa kata ungkapan kehormatan kepadamu
yang kini duduk menyaksikan ilham Allah merasuki tulang-tulang tuamu.
Adakah aku akan melihat orang tuaku sebahagia lantunan nyanyian hatimu
yang hendak menempuh tahap tertinggi kodrat manusia?
aku merenung menggores bayangan butiran air matamu y
ang terdorong keluar oleh kebahagiaan
aku berusaha menutupi jalan untuk air mataku yang tak sanggup menahan keharuan
menuntut jalan keluar, mungkin hendak berteman dengan air matamu
[bersambung..]
Terinspirasi sewaktu di bogor-jakarta, awal juli 2010.
Ditulis di Jatinangor, Kampus Unpad, awal September 2010
Sebuah pengantar untuk mereka yang memiliki sahabat