Lihatlah ufuk senja,
Ditemaram langit kelabu,
Merangkak tunduk di atas haribaan,
Seandainya kau ada disini,
Kan ku ajak engkau menari bersama angin senja.
Namun kau tak lagi disana,
Di sini aku menunggumu, sahabat.
Bagian satu-
Bertualang di sebuah Bis Damri
Sore itu, hujan deras mengguyur seisi desa.
”Ayo buruan, li. Nanti hujannya tambah gede!” teriak Aryo.
”Iya, sabar dong mas, kan aku gak bawa payung gede nih” selorohku.
Sore itu, hujan memang tidak seperti biasanya, angin begitu kencang berhembus dari arah barat mengajak menari dedaunan yang berguguran di sepanjang masjid. Pohon-pohon pun seakan bergeser karena menahan laju angin yang begitu kencang. Saat ku lihat masih jam 16.45 wib. Aku dan sahabat baikku, Aryo baru saja beranjak pulang menuju kosan sehabis menghadiri pengajian bersama teman-teman ikhwan lainnya di sebuah masjid tua bernamakan seorang ahli kedokteran yang namanya sampai sekarang masih dipuji-puji, masjid itu bernama Masjid Raya Ibnusina.
Aryo sudah kuanggap saudara sendiri, ia sendiri benar-benar menganggap aku sebagai saudara kembarnya, bahkan lebih dari itu, aku dan ia bagaikan soulmate yang tidak akan pernah terpisahkan oleh budaya, tempat asal dan tradisi. Ia seorang lelaki jawa yang benar-benar ulet, rajin, struggle, ia memiliki perwatakan khas seorang jawa yang memang dikenal seperti itu di mata semua orang. Kami berdua saling mengenal sewaktu aktif menjadi anggota pengurus Lembaga Dakwah Kampus di masjid Unpad Jatinangor. Ada perasaan geli ketika mengingat saat-saat awal pertemuan kami.
Pagi itu, bis Damri Dipati Ukur-Jatinangor berhenti sejenak beberapa meter dari pintu gerbang tol Muhammad Toha-Cileunyi. Satu persatu penjual makanan ringan dan penjual majalah masuk ke dalam bis menawarkan dagangannya.
”Walau pun akhir bulan bertamu, semangat membaca tak pernah jemu. Tilu rebu, tilu rebu, Aril peterpan berlaga di video porno, cut tari pun parno. Pengen cantik dan anggun seperti Inneke Kusherawati,berbelanjalah di toko baju zukhruf muslimah, murah dan berkah. Fernando Torres alami masa paceklik, 3 bulan tak kunjung cetak gol, Steven Gerrard pun resah. Tilu rebu, tilu rebu!” Promosi sang penjual majalah dengan suara kerasnya yang khas dan membuat semua mata tertuju padanya. Tak ada satu pun penumpang yang tertarik untuk membeli majalah bekas tersebut. Akhirnya, sang penjual majalah meninggalkan bis dengan muka masam yang menyeramkan sambil menggerutu.
Aku duduk tepat di barisan bangku kedua dari belakang. Saat pintu otomatis damri mulai menutup, bis pun melaju perlahan.
Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara kencang sang konektur yang berteriak dengan bahasa loma (bahasa sunda agak sedikit kasar).
”Heup!!! Heup!!! Eureunkeun heula, Sardun!! Itu budak lalaki rek naek!!” Pintu otomatis pun berdebum terbuka. Lalu ketika menoleh ke arah pintu yang sedang terbuka, ku lihat ada seorang anak muda yang naik tergopoh-gopoh menggandong tas dan membawa koper besar berwarna hitam kecoklatan. Ia kesulitan mengangkat koper besar tadi, dengan sekuat tenaga ia berusaha, akhirnya sang konektur turun dan membantu anak muda tadi menaikkan koper besar tersebut. Ia naik, mukanya pucat, nafasnya pun terengah-engah. Lucu sekali melihat tampilan dan sikap tubuhnya, jelas dia seorang perantau yang baru saja tiba di kota Bandung. Terlihat tatapan lega seorang yang tadinya kebingungan di tempat baru yang ia singgahi.Keningnya penuh dengan keringat, saat itu semua kursi telah terisi penuh, kecuali sebuah kursi tepat disampingku. Ia meminta izin untuk duduk di kursi tadi, setelah duduk ia menoleh ke arahku, ia tersenyum simpul sambil bertanya dengan nada jawa yang khas
”Nuwun sewu mas, numpang tanya. Kalo ini betul ya, bis ke jatinangor?”
"ya, mas. Betul. Ini Bis ke Jatinangor.” Jawabku.
"Alhamdulillah, akhirnya bener juga toh” ungkapnya lega.
"Memang dari mana, mas?” tanyaku.
"Aku dari Jawa Timur, Mas. Dari Madiun tepatnya.” tuturnya masih dengan nada jawa yang khas, apalagi sewaktu lafadz ”J & D” keluar dari
mulutnya. Hihi, lucu banget.
”Unpad ya, mas? Fakultas apa mas? Jurusan apa?” tanyaku lagi.
”ya, mas. Kebetulan aku masuk jurusan Teknik Manajemen Industri Pertanian. Fakultas ini, apa itu, nganu.. ehm... itu loh mas, teknologi
ilmu eee.. eeee.. apa ya?”
”oh, jurusan TMIP ya, itu di Fakultas Teknologi Ilmu Pertanian” sahutku.
”ya, hooh bener, itu maksudku, mas. Lali aku tadi,hehe” ungkapnya polos.
”perkenalkan nama saya Ali. Dari Fakultas MIPA, jurusan Fisika” ucapku sambil mengulurkan tangan kepadanya.
”oh, nje. Namaku Aryo, Aryo Prayogo. Panggil saja Aryo.” Katanya sambil membalas uluran tanganku.
Tak terasa, kami pun bercakap-cakap hingga bis damri pun terisi penuh oleh mereka yang berdiri berdesak-desakan di dalam bis. Tak lama kemudian, bis pun melaju kencang di jalanan yang bebas hambatan, antara bandung dan jatinangor. Sepanjang perjalanan, terlihat hijau pesawahan yang terbentang dari arah barat hingga timur, namun sayang. Pemandangan indah tadi, hilang sekejap ketika bis melewati suatu daerah yang kering gersang, hanya ditumbuhi oleh bangunan pabrik yang mengepulkan asap hitam pekat. Pemandangan ini terus menerus terlihat di sepanjang jalan yang kami lewati, Langit yang biru seakan terbatuk-batuk menghisap polusi asap hitam dan beracun yang berasal karena ketamakan manusia. Atas nama materi, mereka menyakiti alam yang indah ini, atas nama dunia mereka melupakan hakikat keberadaan manusia yang seharusnya saling mengerti. Masya Alloh.
Dua puluh menit kemudian, bis sampai di gerbang tol cileunyi. Pintu otomatis kembali berdebum terbuka, satu persatu penumpang turun dari bis, ada seorang ibu yang menggendong anaknya yang baru berumur satu tahun, sambil menuntun kedua anak laki-lakinya. Lalu giliran seorang kakek tua yang membawa tongkat, mukanya tirus, rambutnya yang penuh uban ditutupi sebuah peci hitam yang sudah luntur di kedua sisinya. Tidak lama kemudian, melintas seorang perempuan muda memakai jilbab warna biru. Ia memakai tas selendang berwarna merah muda yang sedikit terbuka. Tingginya semampai, dengan kerudung putih yang serasi dengan warna jilbabnya. Di belakangnya, tampak seorang laki-laki berkulit gelap mengenakan jaket kulit sewarna dengan warna kulitnya. Ketika sang perempuan akan turun, laki-laki tadi tidak sengaja menabrak kursi kosong yang ada di depan kami sehingga badannya sedikit mengenai perempuan tadi. Laki-laki tadi pun, langsung meminta maaf. Lantas ia berlalu dengan cepat.
Beberapa detik kemudian, Aryo bangkit dari kursinya seraya menunjuk laki-laki yang baru turun tadi, sambil berteriak :
”Cepot,, eh,,, copet!! Hey, hey..copet!!!”
Aku pun tersentak kaget, melihat teman yang baru ku kenal tadi. Dengan cekatannya, ia berlari turun dari bis kemudian menghampiri laki-laki
tadi. Laki-laki tadi diam ketika temanku menghampirinya.
”Hey, pak.. balikin dompetnya.. hayoo,, ta laporin sama pulisi!” selorohnya,
”Apaan kamu, enak aja nuduh. Gak sopan banget kamu!” jawab laki-laki hitam tadi.
”Aku tadi liat, bapak ngambil dompet perempuan itu di damri!” ungkap Aryo lantang.
”Betekok, nuduh kuring maok, nuduh dewek maling?” teriaknya kasar.
Di samping kami, berdiri perempuan berbaju kurung biru, ia berdiri mematung, mungkin sedikit kaget akan situasi yang ada dihadapannya.
Kemudian, aku pun menoleh kepadanya.
”Teh, punten teh. Lekas periksa tasnya, barangkali ada yang hilang.” ucapku padanya.
”oh, iya, afwan, sebentar.” kata perempuan tadi dengan khawatir.
”Masya Alloh. ...” sebelum perempuan itu menyelesaikan perkataanya.
Tiba-tiba sebuah tinju keras mendarat di pipi kiri temanku.
”hiyaaah... paeh maneh!” teriak laki-laki itu sambil menghujamkan tangannya ke arah temanku. Tubuh kurus Aryo pun tumbang, seketika itu suasana mulai tak karuan. Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu, berteriak histeris, termasuk sang perempuan berbaju kurung biru.
”arrrrgghhhh!!!! Astaghfirulloh,,” nadanya cemas. Refleks, aku pun meninju balik laki-laki tadi, meski pun dengan dada yang berdebar-debar dan tak karuan. Laki-laki tadi ternyata masih tegar, hanya hidungnya mengucurkan darah merah. Kemudian ia mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat jantungku berdegup sepuluh kali lipat. Ia mengeluarkan sebilah pisau belati dari jaket kulit hitamnya. Ia mengancam siapa saja yang berusaha mengepungnya. Tak ada satu pun dari kerumunan orang yang berani maju menghadapi laki-laki seram itu. Rasa-rasanya jantung ini berdetak makin kencang, dua puluh kali dari biasanya. Matanya agak sedikit teler, tercium bau alkohol ketika dia berteriak-teriak tidak karuan, mencaci maki Aryo dan semua orang yang ada di sekelilingnya.
”Maju selangkah, ku hunuskan pisau ini sama anak ini!” teriaknya lagi sambil mengarahkan pisau ke arah Aryo yang masih tergeletak di
atas aspal. Seorang bapak-bapak setengah baya berucap dengan nada khawatir.
”jang, jang. Eling jang, ulah nyiar-nyiar picilakaeun! Enggeus, bapak mah kaweur ningali na ge. Ulah sologoto kawas kitu! (nak, nak.
Sadar, nak. Jangan cari-cari masalah! Sudahlah, bapak khawatir lihatnya. Jangan bertindak sembarangan kaya gitu!)”
Laki-laki yang sedang dilanda kenekatan itu pun, makin menjadi-jadi. Meski pun dia teler, tapi tatapannya tajam, matanya merah, seperti mata setan. Namun, dengan biusan alkohol, laki-laki itu berjalan sedikit sempoyongan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya makin kotor, jijik dan tidak enak didengar bahkan oleh preman sekali pun. Namun, situasi ini tak lama. Ketika tangan sang laki-laki hitam itu mengayun-ayun, mengancam siapa saja yang mendekat, tak lama kemudian dari bawah tampak sebuah sepatu hitam yang mengayun ke arah betis laki-laki hitam itu. Sepatu itu berasal dari kaki sahabatku, Aryo yang tadi tergeletak. Tak ayal, tendangan sleding membuat si penjahat tadi rubuh seketika.
”Brukkk!!” terdengar debum jatuh disertai suara raungan si penjahat. Suaranya mengerikan, seperti auman singa yang sedang diterkam kawanan singa lainnya. Sebelum ia bangkit, Aryo pun dengan cekatan menendang tangan si penjahat yang sedang menghunuskan pisau belati. Pisau pun terlempar sejauh dua meter. Aku dan semua yang melihat pun mendekati kedua orang yang sedang berperang itu dan langsung memegangi si penjahat. Situasi pun sedikit aman terkendali. Barulah datang tiga orang berseragam coklat abu-abu berlari dari arah terminal.
”Semuanya menyingkir, ada apa ini? Ada apa ribut-ribut kayak gini?” ujar salah seorang dari mereka.
”Kamana wungkul atuh, pak. Aya copet teh lakah cicing wae?” kata seorang ibu yang dari awal menyaksikan kejadian aneh itu.
”Oh, copet nyak. Nya enggeus weh, kadaritu, kadaritu. Awas, ku kami urang uruskeun nu kieu mah! (Oh, copet ya. Ya sudah, semuanya
bubar. Kami akan menanganinya!). Selepas kedatangan petugas yang datang terlambat, situasi pun mulai kembali dingin. Si penjahat,
akhirnya digiring ke pos penjagaan yang tidak jauh dari terminal.
Aku pun melihat Aryo yang sedang menutupi hidungnya yang berdarah, dan penuh debu.
”Astaghfirulloh, yo. Kamu gak apa-apa?” tanyaku sambil melihat luka di wajahnya.
”oh, ndak apa-apa toh mas, ini sih biasa.” ucapnya datar sambil mengeluarkan sebuah dompet berwarna pink.
”Mbak, ini dompetnya.” katanya.
”Masya Alloh, Syukron. Afwan jiddan, karena kecerobohan saya, mas jadi babak belur seperti ini?” jawab perempuan berjilbab biru, masih
dengan nada cemas dan khawatir.
”Sama-sama, mbak. Lain kali musti hati-hati kalo simpen dompetnya ya, mbak?” ucap Aryo.
”Saya antar ke AMC ya, kita obati luka masnya?” kata perempuan berjilbab biru.
”Ndak usah, mbak. Watur nuwun, ndak apa-apa kok. Cuman sedikit memar, dibiarkan sehari juga sembuh.”
”Afwan ya, sekali lagi afwan. Nama saya Kaviani. salam kenal. ”
”Saya Aryo Prayogo. Salam kenal juga” kata Aryo. Kemudian perempuan itu menolehku, alisnya sedikit terangkat.
”Oh, iya. Nama saya Ali.” ujarku kaget.
”Sekali lagi syukron jazakalloh semuanya” ucap perempuan itu.
”Saya mohon pamit, sedang terburu-buru.”
Kami berdua pun mengangguk.
”Assalamu’alaikum”
”wa alaikumussalam warrohmatulloh” serentak kami menjawab.
Itulah cerita singkat awal perjumpaan kami. sedikita aneh memang, baru saja bertemu sudah dimulai dengan petualangan yang membuat geli. Awal perjumpaan yang berlanjut dengan kisah-kisah persahabatan dalam dakwah. Kisah-kisah yang penuh dengan haru, tangis dan tawa. Ternyata memliki seorang teman adalah sebuah anugerah. Apalagi memiliki seorang sahabat. Sahabat sejati, yang akan menjadi pelipur lara dikala gundah datang, dikala asa ditepian jurang, dikala risau mengacau. Itulah makna sahabat.
(bersambung ke bagian II)
Pertemuan kita kali ini
Bukan sekedar kawan lama tak jumpa
Tapi kita bertemu ada satu makna
Kita punya satu perjuangan
Sambutlah tangan sahabat saudaramu
Pimpinlah ia melangkah bersama
Satukan hati kita teguhkan ia
Berdiri bersama untuk kebenaran
Sahabat Perjuangan
-Tazzaka-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar