Harapan Cemerlang
المدينة كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها
“Madinah ini seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang yang baik.”
beres
Rabu, 25 Januari 2012
Ibu- BPM
Umi, umi, umi
Seolah terdengar suara Rasulullah
Kubayangkan wajahnya ketika berucap
menyebut namamu berkali - kali
Ibu ibu ibu
Di pundakmu tetes air mata kuhapus
Dilututmu rebah jiwa lelahku
Ketika engkau belaiku
Sirna semua bebanku
Ya Allah pintaku padaMu
ampunilah ibu ayahku
Lapangkanlah perjalanan mereka
didunia dan akhirat nanti
Bunda bunda bunda
di telapak kakimu surga membentang
didalam doamu terkabullah cinta
dan senyummu tiada mengenal senja
Umi umi umi
menjadi tua adalah kodrat kita
kini engkau nanti aku pula
Jika Allah memberi....
Ya Allah pintaku padaMu
ampunilah ibu ayahku
Lapangkanlah perjalanan mereka
didunia dan akhirat nanti
Khabbab bin Arats, Guru dalam Ilmu dan Pengorbanan
Khabbab bin Arats adalah seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata, terutama pedang. Senjata dan pedang buatannya dijualnya kepada penduduk Makkah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Sejak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Ia mendapat kedudukan itu di antara orang-orang yang walau pun miskin dan tak berdaya, tetapi berani dan tegak menghadapi kesombongan, kesewenangan dan kegilaan kaum Quraisy.
Sejak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Ia mendapat kedudukan itu di antara orang-orang yang walau pun miskin dan tak berdaya, tetapi berani dan tegak menghadapi kesombongan, kesewenangan dan kegilaan kaum Quraisy.
Senin, 09 Januari 2012
RENUNGAN HIDUP
RENUNGAN HIDUP
(Duh! betapa singkatnya kita hidup di dunia ini)
Saat tulisan ini dibuat, dua hari lagi, tahun Hijriah segera berganti, dari tahun 1430 H ke 1431 H. Lima belas hari lagi, tahun Masehi berganti, dari tahun 2009 ke tahun 2010. Beberapa hari lagi, kawan saya si Fulan genap berusia 38 tahun. Itu berarti jatah hidupnya telah berkurang lagi setahun dibandingkan tahun lalu. Ia lalu mengajak saya untuk merenung. Ia kemudian berandai-andai sebagai berikut:
Andai jatah hidup kita di dunia ini 60 tahun. Dengan usia kiita saat ini 38 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 50 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 12 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 40 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umur kita sudah habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawa kita? Duh! Betapa singkatnya hidup 38 tahun. Jika demikian, betapa tidak akan terasa menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 22 tahun, 12 tahun, 2 tahun, atau malah Cuma dua hari lagi..
Mendengar ‘ocehan’-nya, saya mulai tersentak. Diam-diam, saya pun mulai merenungkan kata-katanya. Ia lalu melanjutkan:
Andai selama 38 tahun itu kita tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidup kita hanya dipakai untuk tidur, yaknis sekitar 12,7 tahun. Andai sisa waktu kita perhari yang tinggal 16 jam itu kita pakai 4 jam untuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan melakukan hal-hal yang tak berguna. Berarti sisa waktu kita perhari tinggal 12 jam. Sebab, yang 12 jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal tadi. Dua belas jam berarti setengah hari, jika dikalikan 38 tahun, berarti 19 tahun (separuh umur kita) hanya kita pakai untuk tidur dan melakukan hal-hal yang tak berguna.
Saya makin termenung. Diam-diam saya makin hanyut dalam kontemplasinya. Ia pun bertutur lagi:
Dalam usia 38 tahun itu, kita misalkan, baru mulai bekerja efektif pada usia 25 tahun. Berarti kita bekerja 8 jam perhari, berarti kita telah menghabiskan waktu kita untuk bekerja 1/3x13 tahun=3,9 tahun. Artinya dari 38 tahun itu kita menghabiskan total kira-kira 2,9 tahun hanya untuk tidur dan bekerja mencari dunia; termasuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai , dan mungkin melakukan hal-hal tak berguna.
Mari kita bandingkan dengan aktivitas ibadah kita, juga dakwah kita. Andai shalat kita yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total hanya 1,5 jam perhari, berarti kita hanya menghabiskan 547 jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya sekitar 23 hari pertahun. Andai kita baru benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat mulai balig) , berarti kita baru menghabiskan sekitar 414 hari (=23x18[38-15]) untuk shalat. Artinya, selama 38 tahun, kita menunaikan shalat hanya 1 tahun 49 hari!
Bagaimana dengan aktivitas dakwah kita? Andai dakwah kita baru kita mulai pada usia 20 tahun dan hanya memaan waktu rata-rata 2 jam perhari, berarti kita menghabiskan waktu kira-kira 547,5 hari untuk berdakwah. Artinya, kita hanya menghabiskan waktu 1, 5 tahun saja untuk berdakwah.
Aku semakin larut dalam kata-katanya. Emosiku tak tertahan. Namun, si Fulan kawanku terus ‘berceloteh’. Ia lalu mengajakakku untuk merenungkan kembali firman Allah SWT (yang artinya) : Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (QS adz-Dzariyat [51]:56). Ia kemudian bertutur lagi:
Saat merenungkan kembali ayat itu, hatiku menangis. Betapa tidak. Allah menciptakan hidupku dan member usia sekian puluh tahun sesungguhnya agar aku gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun kenyataannya, hidupku habis untuk tidur dan bekerja mencari dunia, juga melakukan hal yang sia-sia. Sebaliknya, hanya sebagian kecil usiaku aku habiskan untuk ibadah dan dakwah.
Saya menyela. “Bekerja kan termasuk ibadah juga.”
Namun, segera ia mengajukan pertanyaan retoris kepada saya:
Baik. Sekarang bagaimana jika semua itu ternyata tidak bernilai di ssi Allah? Bagaimana jika amal-amal kita ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana jika shalat kita yang jarang sekali khusyuk itu ditolak oleh Allah? Bagaiman pula jika dakwah kita pun-yang mungkin kadang bercampur dengan riya dan tak jarang minimalis-tak dipandang oleh Allah?
Betul. Kita tidak boleh pesimis. Kita harus penuh harap kepada Allah. Semoga semua amal-amal kita Dia terima. Namun, kita pun sepantasnya khawatir jika semua amal yang selama ini kita anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian besarnya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzubillah. Kita memang tidak berharap seperti itu.
Di sisi lain, setiap hari, puluhan kali kita bermaksiat. Kalikan saja, misalkan, dengan 23 tahun usia kita (38 tahun dikurangi masa kanak-kanak prabalig).
Tak terasa, saya pun mencucurkan air mata, tak kuasa menahan tangis, seraya bergumam, “Ya Allah, setiap detik karunia dan nikmat-Mu turun kepadaku. Namun, setiap detik pula dosa dan kesalahanku naik kepada-Mu.”
Saya lantas berdoa dengan do’a Nabi Adam as. :
Ya Allah, Tuhan kami. Selama ini kami hanya menzalimi dan menganiaya diri kami sendiri. Jika saja Engkau tidak mengampuni dosa-dosa kami, tentu kami termasuk orang-orang yang merugi.
Saya pun berdo’a dengan do’a Imam al-Ghazali:
Tuhanku, tidaklah pantas aku menjadi penghuni Firdaus-Mu. Namun, tak mungkin pula aku kuat menahan panasnya Neraka-Mu. Karena itu, terimalah tobatku dan ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa dan Engkau Mahabesar. Amin.
tulisan insipratif oleh kakak kita : Kang Arief B. Iskandar
Diambil dari majalah bulanan favorit,
Al-wa’ie No. 113 Tahun X, 1-31 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)