Saat tulisan ini dibuat, dua hari lagi, tahun Hijriah segera
berganti, dari tahun 1430 H ke 1431 H. Lima belas hari lagi, tahun
Masehi berganti, dari tahun 2009 ke tahun 2010. Beberapa hari lagi,
kawan saya si Fulan genap berusia 38 tahun. Itu berarti jatah hidupnya
telah berkurang lagi setahun dibandingkan tahun lalu. Ia lalu mengajak
saya untuk merenung. Ia kemudian berandai-andai sebagai berikut:
Andai
jatah hidup kita di dunia ini 60 tahun. Dengan usia kiita saat ini 38
tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidup
kita di dunia ini 50 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 12 tahun
lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 40 tahun, berarti sisa hidup
kita tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umur kita sudah habis
dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawa kita? Duh! Betapa
singkatnya hidup 38 tahun. Jika demikian, betapa tidak akan terasa
menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 22 tahun, 12 tahun, 2
tahun, atau malah Cuma dua hari lagi..
Mendengar ‘ocehan’-nya, saya mulai tersentak. Diam-diam, saya pun mulai merenungkan kata-katanya. Ia lalu melanjutkan:
Andai
selama 38 tahun itu kita tidur selama delapan jam perhari, berarti
sepertiga hidup kita hanya dipakai untuk tidur, yaknis sekitar 12,7
tahun. Andai sisa waktu kita perhari yang tinggal 16 jam itu kita pakai
4 jam untuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan melakukan
hal-hal yang tak berguna. Berarti sisa waktu kita perhari tinggal 12
jam. Sebab, yang 12 jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal
tadi. Dua belas jam berarti setengah hari, jika dikalikan 38 tahun,
berarti 19 tahun (separuh umur kita) hanya kita pakai untuk tidur dan
melakukan hal-hal yang tak berguna.
Saya makin termenung. Diam-diam saya makin hanyut dalam kontemplasinya. Ia pun bertutur lagi:
Dalam
usia 38 tahun itu, kita misalkan, baru mulai bekerja efektif pada usia
25 tahun. Berarti kita bekerja 8 jam perhari, berarti kita telah
menghabiskan waktu kita untuk bekerja 1/3x13 tahun=3,9 tahun. Artinya
dari 38 tahun itu kita menghabiskan total kira-kira 2,9 tahun hanya
untuk tidur dan bekerja mencari dunia; termasuk nonton tivi, ngobrol
ngalor-ngidul, santai , dan mungkin melakukan hal-hal tak berguna.
Mari
kita bandingkan dengan aktivitas ibadah kita, juga dakwah kita. Andai
shalat kita yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan
waktu total hanya 1,5 jam perhari, berarti kita hanya menghabiskan 547
jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya sekitar 23 hari pertahun.
Andai kita baru benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat mulai
balig) , berarti kita baru menghabiskan sekitar 414 hari
(=23x18[38-15]) untuk shalat. Artinya, selama 38 tahun, kita menunaikan
shalat hanya 1 tahun 49 hari!
Bagaimana dengan
aktivitas dakwah kita? Andai dakwah kita baru kita mulai pada usia 20
tahun dan hanya memaan waktu rata-rata 2 jam perhari, berarti kita
menghabiskan waktu kira-kira 547,5 hari untuk berdakwah. Artinya, kita
hanya menghabiskan waktu 1, 5 tahun saja untuk berdakwah.
Aku
semakin larut dalam kata-katanya. Emosiku tak tertahan. Namun, si Fulan
kawanku terus ‘berceloteh’. Ia lalu mengajakakku untuk merenungkan
kembali firman Allah SWT (yang artinya) :
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (QS adz-Dzariyat [51]:56). Ia kemudian bertutur lagi:
Saat
merenungkan kembali ayat itu, hatiku menangis. Betapa tidak. Allah
menciptakan hidupku dan member usia sekian puluh tahun sesungguhnya
agar aku gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun kenyataannya,
hidupku habis untuk tidur dan bekerja mencari dunia, juga melakukan hal
yang sia-sia. Sebaliknya, hanya sebagian kecil usiaku aku habiskan
untuk ibadah dan dakwah.
Saya menyela. “
Bekerja kan termasuk ibadah juga.”
Namun, segera ia mengajukan pertanyaan retoris kepada saya:
Baik.
Sekarang bagaimana jika semua itu ternyata tidak bernilai di ssi Allah?
Bagaimana jika amal-amal kita ternyata tidak diterima oleh Allah?
Bagaimana jika shalat kita yang jarang sekali khusyuk itu ditolak oleh
Allah? Bagaiman pula jika dakwah kita pun-yang mungkin kadang bercampur
dengan riya dan tak jarang minimalis-tak dipandang oleh Allah?
Betul.
Kita tidak boleh pesimis. Kita harus penuh harap kepada Allah. Semoga
semua amal-amal kita Dia terima. Namun, kita pun sepantasnya khawatir
jika semua amal yang selama ini kita anggap amal shalih dan bernilai
pahala, ternyata sebagian besarnya tidak bernilai apa-apa di sisi
Allah. Na’udzubillah. Kita memang tidak berharap seperti itu.
Di
sisi lain, setiap hari, puluhan kali kita bermaksiat. Kalikan saja,
misalkan, dengan 23 tahun usia kita (38 tahun dikurangi masa
kanak-kanak prabalig).
Tak terasa, saya pun
mencucurkan air mata, tak kuasa menahan tangis, seraya bergumam, “Ya
Allah, setiap detik karunia dan nikmat-Mu turun kepadaku. Namun, setiap
detik pula dosa dan kesalahanku naik kepada-Mu.”
Saya lantas berdoa dengan do’a Nabi Adam as. :
Ya
Allah, Tuhan kami. Selama ini kami hanya menzalimi dan menganiaya diri
kami sendiri. Jika saja Engkau tidak mengampuni dosa-dosa kami, tentu
kami termasuk orang-orang yang merugi.
Saya pun berdo’a dengan do’a Imam al-Ghazali:
Tuhanku,
tidaklah pantas aku menjadi penghuni Firdaus-Mu. Namun, tak mungkin
pula aku kuat menahan panasnya Neraka-Mu. Karena itu, terimalah tobatku
dan ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa dan
Engkau Mahabesar. Amin.
tulisan insipratif oleh kakak kita :
Kang Arief B. Iskandar
Diambil dari majalah bulanan favorit,
Al-wa’ie No. 113 Tahun X, 1-31 Januari 2010