|
picture : Ruth Tay |
Matahari pagi menyiangi bumi,
aku berjalan diantara kelokan sungai yang membeku,
di atas jejalan batu yang menjadi prasasti alam
yang tiada pernah dirindu,
ku tutup mataku, berharap ada kedamaian
yang singgah dalam ruang tamu hatiku,
tiba-tiba.. tanpa kuduga,
ku rasakan angin menuntun mata hatiku,
ia memegang jemariku, perlahan penuh kelembutan,
lalu menarik leherku dengan selendang tanpa warna,
tanpa rasa, tanpa airmata...
ku buka mataku,
oh Tuhan, bening..
hatinya bening sekali, tak tampak keruh seperti sungai ini..
ia tersenyum, melihat burung-burung dara
yang mengitari mahkota keindahannya..
lenyaplah sudah kegelisahan dalam hatiku,
berganti menjadi rona yang memantulkan cahaya mentari..
yang menyebar karena terbias sinar indahnya,
ku tutup lagi mataku,
oh Tuhan, hilang..
ia menghilang, tak lagi tampak di hadapanku..
aku bertanya pada riak sungai dan serakan daun,
namun mereka diam..
sambil terguncang, sang sungai akhirnya angkat bicara,
ia mengatakan kemana sang angin pergi lewat riak cerminnya,
rupanya ia telah pergi bersama burung-burung dara,
melanjutkan mimpinya untuk mengembara ke tanah mulia,
aku berjalan diantara kelokan sungai yang masih membeku,
di atas jejalan batu yang menjadi prasasti yang akan aku rindu,
kemana angin berhembus, disanalah aku menuju..
aku rindu pada lukisan pagi yang cerah terbayang,
aku rindu pada siluet senja yang indah membayang,
Sahabat, seandainya engkau kembali ke sini,
kan ku ajak engkau menari bersama pagi,
kan ku ajak engkau berlari menyalip sinar mentari,
namun engkau tak lagi ada disampingku.
di sini aku menantimu, wahai sahabat