expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

beres

Senin, 25 Maret 2013

Point of No Return



Agustus 2005. Pagi itu, atap langit begitu memanjakan mata setiap yang memandangnya, langit pagi yang cerah, bertaburkan pendaran bintang laksana sorotan mata bidadari yang mengintip bumi, menatap penuh kagum para hamba Allah  yang terlipat dalam sujud, terlarut dalam khusyuk, dan  tertunduk di hadapan Rabbnya. Begitu indah lukisan alam, dengan mahkota surya yang kokoh di atas singgasana langit menggores pena malam yang kini mulai pudar. Membiaskan sunyi senyap menjadi rentetan warna kedamaian pagi. Perlahan tapi pasti, peluru cahaya menerobos pohon beringin yang berjejal diantara jalanan aspal yang kering dan retak, Akarnya dalam menghujam laksana keimanan para syuhada, rantingnya menusuk setiap lembar angin yang melaluinya. Dedaunan pun mulai mengalun syahdu tanda syukur dan tunduk akan kekuasaanNya.


Di antara barisan burung yang berkicau, ku temukan kayuh yang berdecit karena gesekan gear dan rantai yang kering karena kurang oli, itulah suara gowes sepeda balap hitam kebanggaanku yang  meluncur kencang delapan kilometer jauhnya menuju sekolah favorit kampung halaman. Sudah menjadi irama hidupku, di setiap pagi, selepas membantu ibu menyiapkan nasi kuning di halaman rumah dan menyantap sarapan pagi bersama bapak dan kedua saudara perempuanku aku langsung bersemangat menuntun sepeda balap hadiah dari Kang Herfin, abang laki-laki ku setahun yang lalu. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas satu SMA, masih menjadi bocah ingusan yang penuh semangat dan cita-cita. Aku adalah bocah pemimpi.




Sepulang sekolah, kembali ku gowes sepeda balap menyusuri jalan yang sama, lurus, berkelok, sesekali menanjaki jalanan beraspal yang berair. Tak ada yang istimewa di hari itu, semua berjalan dengan normal, gerombolan kemeja putih abu-abu dan setumpuk PR yang sering mengganggu kembali berulang di setiap harinya.  Aku benar-benar tak menyadari, jika ternyata hari itu adalah hari yang akan selalu ku kenang hingga dewasa nanti. Hari yang akan mengubah total pandangan dan arah hidupku.


Sore itu, abang laki-laki ku - Kang Herfin- mengajakku untuk bersiap-siap pergi ke sebuah pengajian yang berjarak empat kilometer dari kediaman kami. Ku kenakan pakaian takwa terbaikku, ku beri wewangian, lalu ku semir rambutku dengan urang-aring agar terlihat mengkilat dan rapi. Namun, apalah daya, tiba-tiba sore itu hujan turun begitu deras. Membuat ibu-ibu sontak panik dan berlarian menyelamatkan jemuran yang masih basah. Bukannya surut, abang laki-laki ku dengan sigapnya malah menyiapkan sepeda motor lengkap dengan sebuah jas hujan besar berwarna hijau tua yang bau apek dan sembap. Sepeda motor melaju berdebum membelah selendang hujan yang menari di atas aspal hitam yang legam. Layar pun digelar, pertunjukkan kini di mulai.


Suara mesin motor, suara angin, suara air, suara aspal terpintal menjadi satu rekaman yang tersimpan dalam kepala. Hujan membasahi kami berdua, begitu dingin hingga membuat gigi dan sendi ku menggigil. Jas hujan yang bau jamur kian menambah penderitaanku, membuat kusut rambut kebanggaanku. Aku benar-benar tersiksa!  Aku larut dalam penyesalan, kenapa aku sampai mau menuruti beliau? Sihir apa yang membuatku termanut-manut saat beliau mengucapkan kalimat ajakan tersebut? Aduh, betapa bodohnya aku.


Dalam aroma penyesalan tersebut ternyata terbit sebuah pemandangan yang membuatku keheranan, tepat setengah perjalanan tiba-tiba hujan berhenti, badai telah reda! Angin kini semilir, awan pun menyingsing. Ku buka jas hujan yang bau, dan seketika itu, sentuhan matahari sore membelai wajah ku dengan lembut dan hangat, kini aku berdamai dengan alam. Tibalah kami di sebuah masjid yang penuh kaca, namun seketika itu aku merasa heran, karena disana tak ada barisan jemaah dan gerombolan ibu-ibu yang biasa terlihat pada pengajian umumnya. Di balik jendela kaca besar, ku hanya menemukan sosok laki-laki berkulit sawo matang dengan janggut dan peci hitamnya. Abangku menyuruhku menemui laki-laki berpeci itu sementara ia menunggu di serambi masjid. Dengan rasa penasaran, ku masuki masjid, ku ucapkan salam dan duduk di hadapan beliau. Saat itulah ku temukan dua bola mata yang membuatku merasa nyaman menatapnya.    


Terkagum aku karena pesona kewibawaannya, terhinggap malu karena luntuk keberanianku, terhenyak batinku dari sepi, saat tatapan terjatuh pada matanya yang bening, dalam dan jauh menyeruak ke dalam lorong jiwaku yang sempit dan gelap, seakan tahu isi setiap detail dalam hati, seakan hafal setiap kata yang tertahan oleh lidah.

Mata yang memahami setiap kata yang tak terucap, mata yang mampu membelokkan saluran irigasi kekesalan yang ingin tumpah ruah karena tak tak tahu kepada siapa lagi jeritan dan kekosongan ini hinggap. Aku benar-benar malu, saat berkas sinar mata itu terpantul sempurna pada cermin kepalaku, membias diantara lensa, iris dan pupil mata hingga terjun ke dalam relung jiwaku yang paling dalam. Berkas sinar itu perlahan merayapi hatiku yang dingin dan gelap, ia memeluk satu pilar saraf yang hampir terputus sehingga tersambung menjadi satu sistem yang utuh dan normal. Rasanya hangat dan cerah, seakan ada mentari harapan yang menyiangi sendi-sendi tubuhku yang aus. Sentuhannya tak asing lagi, tatapan mata yang kelak mengeluarkan uap kebosanan, membuatku bertambah dewasa, membuatku tambah bijaksana.


Mata seorang laki-laki yang begitu hidup. Inikah mata yang selama ini ku impikan dalam hidup? Mata yang menatap jauh dan dalam.  Jauh seiring dengan samudera ilmu yang ia layari dan begitu dalam bak palung pengalaman hidup yang ia selami. Mata bening yang penuh ketegasan, kasih sayang dan penuh arti.  Inilah pertemuan pertamaku dengan muysrifku,  selama tiga tahun penuh beliau membimbingku menjalani masa remaja dan SMA yang berapi-api.


Selang waktu berjalan, kita tidak menyadari bahwa dunia terus berubah. Waktu pun seakan kereta listrik raksasa yang tidak akan pernah berlari mundur di atas rel. Di bawah binaan seorang musyrif, aku tumbuh menjadi seorang remaja yang mulai mengenal Islam, Islam ideologis lebih tepatnya. Islam yang tak sekedar mengajari berakhlak manis, Islam yang tak sekedar mengajari untuk gemar ibadah dan mengaji, namun Islam yang memiliki konsepsi kehidupan yang mengakar dan menghujam menuntaskan setiap sudut problematika kehidupan. Islam yang mengajarkanku untuk berpeluh membela umat yang kini meronta karena tirani demokrasi yang indah namun menipu.


Selama remaja, aku tumbuh di antara asuhan para aktivis dakwah yang penuh ketulusan memperjuangkan tegaknya kembali hukum Allah di muka bumi. Tahu kah engkau, sobat? mereka bukanlah para sarjana lulusan universitas hebat dan terkenal, mereka bukanlah saudagar kaya raya yang hidup penuh keberlimpahan, tapi mereka hanyalah para karyawan pabrik yang seminggu bekerja di pagi hingga sore hari  seminggu kemudian bekerja di waktu malam hingga pagi hari, mereka hanyalah pedagang baso tahu yang berjalan puluhan kilometer mendorong gerobak reyot, mereka hanyalah supir angkotan kota yang biasa bekerja penuh tekanan dan kekurangan.  
        

 Walau pun mereka hidup serba kekurangan, namun mereka tak pernah sedikit pun mengeluh apalagi mencoba untuk berhenti dakwah karena alasan ekonomi. Tidak! Sekali-kali tidak! Walaupun mereka berprofesi sebagai karyawan pabrik, penjual baso tahu atau supir, tapi sebenarnya mereka memiliki mental seorang raja, mereka memiliki mental seorang pejuang. Aku sangat kagum dengan kesederhanaan mereka dalam berhidup, aku takjub dengan kesabaran mereka ketika menghadapi tantangan dakwah, aku benar-benar salut atas kesetiaan mereka kepada Allah swt.


Aku kagum kepada mereka sebagaimana aku kagum kepada abangku yang mengajakku bergabung di barisan dakwah ini. Herfin Yienda Prihensa, ya itulah nama lengkapnya, sedikit bernada aneh bukan? Beliau adalah seorang sarjana lulusan Fisika Unpad angkatan 1997. Aku begitu mengagumi beliau semenjak kecil. Aku kagum dengan kesabaran dan kesetiaannya dalam membimbingku dan empat saudara perempuanku. Beliau adalah seorang family man, yang bekerja sepenuh hati untuk kebahagiaan orang tua dan adik-adiknya. Meski pun beliau seorang sarjana, namun beliau tak pernah sungkan untuk berteman dengan lumpur saat bertani di ladang depan rumah. Bahkan, sebelum diterima sebagai PNS, beberapa bulan beliau sempat mengisi hari demi harinya dengan berjualan balon tiup berpasir, berjalan menjajakan balon pasir kepada anak-anak kecil dari satu kampung ke kampung lain, dari satu desa ke desa lain hanya untuk membantu  ayah- yang sejak tahun 2000 sudah pensiun dari kantor pos- membiayai keperluan sekolah kami sehari-hari. Begitu beratnya perjuangan beliau saat itu. Sungguh, jika aku mengingat hari-hari tersebut, aku selalu menangis. Ya Allah, betapa aku sangat mencintai laki-laki pekerja keras ini. Ya Rabb, betapa aku mencintai para musyrif-ku.


Aku benar-benar bahagia, ketika menjalani masa remajaku dengan warna dakwah yang begitu terang. Hingga tiba satu hari yang istimewa, yakni Konferensi Khilafah Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno bulan Agustus tahun 2007 silam, menyaksikan hampir lebih dari seratus dua puluh ribu orang memadati stadion nasional tersebut sambil memekikkan takbir dan kata Khilafah, membuatku haru dan menangis semakin dalam. Khilafah begitu terasa dekat, Khilafah rasanya akan segera tegak. Hari itu betul-betul menjadi turning point  bagiku, menjadi titik yang mengajari agar aku semakin bersemangat menempuh puncak demi puncak kehidupanku. 


Setelah itu aku mengikrarkan sebuah azzam kepada Allah, aku berdo’a pun kepada Allah, jika aku bisa menimba ilmu di tempat yang lebih tinggi, yakni di perguruan tinggi menjadi seorang mahasiswa, maka aku akan berjuang di barisan dakwah khilafah, aku akan berjuang terus membela agama Allah.


Satu tahun berlalu, Allah swt akhirnya mengabulkan permohonanku. Tahun 2008 aku berhasil menembus SNMPTN menjadi seorang mahasiswa Unpad, seorang mahasiswa Fisika Unpad. Alhamdulillah, segala puji bagiMu, ya Rabb. Beginilah Engkau dengan caraMu, Engkau menghadiahkan kesempatan emas untuk mewujudkan mimpi sekaligus azzamku dalam dakwah.   


  Hari berganti hari, bulan berganti bulan, satu tahun pun berlalu. Ternyata, menjadi mahasiswa betul-betul repot dan rumit, repot karena tugas praktikum yang bertumpuk, rumit akibat bergelut dengan materi yang alot. Belum lagi dipusingkan dengan keperluan sehari-hari yang harus tersedia. Semua itu menyimpulkan bahwa dakwah tidak lagi mudah.


Ketika kita menjadi mahasiswa, kita mulai berfikir dewasa, kita belajar agar tidak bergantung kepada orang tua lagi, kita harus belajar bertanggung jawab kepada diri kita sendiri. Disanalah pilihan sulit terkadang kita ambil. Aku tak mau lagi membuat bapak, ibu dan abang kesusahan memikirkanku. Cukup! Sudah terlalu cukup aku menyusahkan mereka. Saat itu, aku benar-benar tak punya pilihan lain kecuali menyibukkan dengan kuliah sambil menjual nasi kuning di dalam kampus untuk belajar bertanggung jawab atas diri ini. Ini adalah satu pilihan yang berat dan cukup keliru. Namun apalah daya, sobat. Nasi sudah menjadi bubur, pena sudah diangkat, dan tinta pun sudah mengering. Selanjutnya, seperti yang ditebak aku menjelma menjadi mahasiswa kupu-kupu- kuliah-pulang, kuliah-pulang- dan ternyata aku sukses dalam kuliahku. selama satu tahun IPK ku Cum Laude.    


Ternyata, di balik kepuasan dan kerja keras ku. Satu tahun tersebut aku mengalami kondisi yang begitu menjemukan. Insting dakwah ku mulai menurun, aku terlarut dalam rutinitas mahasiswa yang tak lagi peka akan dakwah dan kondisi umat. Hampir di setiap malam, aku gundah dan gelisah. Susah sekali memicingkan mata untuk tidur dengan tenang. Saat itu, aku benar-benar mengalami ketakutan yang sangat luar biasa. Ternyata aku sadar, bahwa aku takut kehilangan Allah.  Aku resah karena takut kehilangan kasih sayang Allah. Aku gundah karena tak mau dilupakan Allah.  Karena aku tak menunaikan azzam yang sempat terucap sewaktu dulu,  azzam untuk menjadi seorang aktivis dakwah  yang membela agamaNya. Tahu kah engkau sobat, jika Allah sudah melupakan kita,  tak kan lagi kita ditolong olehNya, tak lagi ditegur, tak kan pernah lagi diingatkanNya. Selanjutnya kita akan menjelma menjadi manusia tersesat di muka bumi, sesesat-sesatnya manusia.  Itulah ketakutan terbesar yang senantiasa hadir  dalam relung hatiku.


Aku jadi teringat tentang atrofi, penyusutan organ atau jaringan akibat jarang digunakan. Mungkin berkerutnya militansi dakwah yang ku rasakan diakibatkan minimnya pergesekan pemikiran.  Perlahan-lahan, insting dakwah pun menurun dan hampir lenyap. Aktualisasi diri dalam menimba tsaqofah pun tak segencar dulu, valensi diri berkurang dan tak lagi berkembang. Seharusnya  aku menyadarinya sewaktu dulu bahwa di balik persimpangan, harusnya ku pilih jalan dakwah, jalan terang yang abadi. Bukan menyibukkan diri dengan aktivitas yang kosong dan hampa. 


Akhirnya, bermodal keberanian dan kepercayaan akan pertolongan Allah, ku mulai menata kembali jejak-jejak dakwah yang mulai terserak. Aku bergabung di barisan aktivis masjid Kampus, DKM Unpad yang membuatku semakin matang dalam berjuang, membuatku semakin larut dalam kerinduan atas pahala dan kemenangan yang telah dijanjikan olehNya. Aku tumbuh dan berkembang di sini, meluapkan semangat dan keimanan yang mulai tumpah ruah. Alhamdulillah, hingga kisah ini ku goreskan, aku mendapatkan berkali-kali pertolongan berupa Beasiswa dan kemudahan maisyah lainnya. Ini adalah pertolongan Allah swt atas permintaanku  yang kedua. Alhamdulillah.      
  

            Semakin malam, semakin larut, semakin dingin, semakin gelap dan pekat. Semakin naik ke atas semakin tinggi halangan, semakin banyak rintangan.  Waktu untuk bersantai semakin berkurang, artinya pertolongan Allah semakin dekat!


            Ketika semuanya menjadi sulit, rumit tak terlihat pangkalnya. Di situlah letak jalan keluar berada, di sanalah rahasia kemudahan itu tersembunyi, yang harus kita lakukan adalah terus melangkah, mencari satu jalur cahaya yang ada di depan kita, kita gagal lalu terjatuh, kita bangkit dan lakukan lagi. Jatuh dan bangkit lagi, gagal, kemudian berhasil, begitulah hidup, sobat. Disanalah Allah melihat kesungguhan kita, itulah alasan Allah menurunkan pertolonganNya untuk kita.  


            Ini adalah saat dimana aku tak boleh kembali lagi kepada pilihan keliru yang membuatku jauh dari Allah swt, ini adalah point of no return! Ketika keimanan mulai berkerut, letih, penat dan tergoda dunia, maka ku selalu mengingat titik ini. Titik dimana seluruh harga diri dan kehormatan kita dipertaruhkan di hadapan seluruh penghuni langit, titik yang akan menentukan sejauh mana kegigihan kita dalam berjuang, titik yang akan menentukan derajat kemuliaan kita di hadapan Allah swt. Untuk meraih kemuliaan tersebut, tentu tak semudah mencengram batu kerikil dalam genggaman. Perlu pengorbanan, perlu perjuangan, perlu kesabaraan dan kesetiaan. Diperlukan totalitas sebagaimana yang pernah Rasulullah saw ucapkan pada Khadijah tercinta tatkala menerima wahyu yang pertama. “laa roohatan ba’dal yaum, ya Khadijah,  Tak ada lagi waktu untuk beristirahat setelah hari ini, wahai Khadijah.”


            Begitu pula dalam kisah perjalanan hidup kita, sobat. Di puncak kehidupan nanti, ada tujuan yang ingin kita raih, ada tempat yang kita nanti. Di sana lah kita boleh berhenti. Bukankah tujuan kita demi meraih ridha dan cinta Allah swt yang hakiki, bukankah ada telaga Jannah yang kita nanti. Tapi mengapa, ridha manusia yang terkadang kita cari? Tapi kenapa, terkadang panggilan syurga yang sering kita khianati? 


            Semoga Allah swt menganugerahkan kepada kita singgasana keimanan yang kokoh, mahkota ketakwaan yang terus bercahaya,  serta tekad dakwah yang tiada dapat ditundukkan. Semoga kita semua tiada pernah mencoba untuk berbalik dari jalan ini, Point of no return.


Wallahu’alam bi ash-showab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar