Agustus
2005. Pagi itu, atap langit begitu memanjakan mata setiap yang memandangnya,
langit pagi yang cerah, bertaburkan pendaran bintang laksana sorotan mata
bidadari yang mengintip bumi, menatap penuh kagum para hamba Allah yang
terlipat dalam sujud, terlarut dalam khusyuk, dan tertunduk di hadapan
Rabbnya. Begitu indah lukisan alam, dengan mahkota surya yang kokoh di atas
singgasana langit menggores pena malam yang kini mulai pudar. Membiaskan sunyi
senyap menjadi rentetan warna kedamaian pagi. Perlahan tapi pasti, peluru
cahaya menerobos pohon beringin yang berjejal diantara jalanan aspal yang
kering dan retak, Akarnya dalam menghujam laksana keimanan para syuhada,
rantingnya menusuk setiap lembar angin yang melaluinya. Dedaunan pun mulai
mengalun syahdu tanda syukur dan tunduk akan kekuasaanNya.
Di
antara barisan burung yang berkicau, ku temukan kayuh yang berdecit karena
gesekan gear dan rantai yang kering karena kurang
oli, itulah suara gowes sepeda balap hitam kebanggaanku yang meluncur
kencang delapan kilometer jauhnya menuju sekolah favorit kampung halaman. Sudah
menjadi irama hidupku, di setiap pagi, selepas membantu ibu menyiapkan nasi
kuning di halaman rumah dan menyantap sarapan pagi bersama bapak dan kedua
saudara perempuanku aku langsung bersemangat menuntun sepeda balap hadiah dari
Kang Herfin, abang laki-laki ku setahun yang lalu. Saat itu aku baru duduk di
bangku kelas satu SMA, masih menjadi bocah ingusan yang penuh semangat dan
cita-cita. Aku adalah bocah pemimpi.
Sepulang
sekolah, kembali ku gowes sepeda balap menyusuri jalan yang sama, lurus,
berkelok, sesekali menanjaki jalanan beraspal yang berair. Tak ada yang istimewa
di hari itu, semua berjalan dengan normal, gerombolan kemeja putih abu-abu dan
setumpuk PR yang sering mengganggu kembali berulang di setiap harinya.
Aku benar-benar tak menyadari, jika ternyata hari itu adalah hari yang akan
selalu ku kenang hingga dewasa nanti. Hari yang akan mengubah total pandangan
dan arah hidupku.
Sore
itu, abang laki-laki ku - Kang Herfin- mengajakku untuk bersiap-siap pergi ke
sebuah pengajian yang berjarak empat kilometer dari kediaman kami. Ku kenakan
pakaian takwa terbaikku, ku beri wewangian, lalu ku semir rambutku dengan
urang-aring agar terlihat mengkilat dan rapi. Namun, apalah daya, tiba-tiba
sore itu hujan turun begitu deras. Membuat ibu-ibu sontak panik dan berlarian
menyelamatkan jemuran yang masih basah. Bukannya surut, abang laki-laki ku
dengan sigapnya malah menyiapkan sepeda motor lengkap dengan sebuah jas hujan
besar berwarna hijau tua yang bau apek dan sembap. Sepeda motor melaju berdebum
membelah selendang hujan yang menari di atas aspal hitam yang legam. Layar pun
digelar, pertunjukkan kini di mulai.
Suara
mesin motor, suara angin, suara air, suara aspal terpintal menjadi satu rekaman
yang tersimpan dalam kepala. Hujan membasahi kami berdua, begitu dingin hingga
membuat gigi dan sendi ku menggigil. Jas hujan yang bau jamur kian menambah
penderitaanku, membuat kusut rambut kebanggaanku. Aku benar-benar
tersiksa! Aku larut dalam penyesalan, kenapa aku sampai mau menuruti
beliau? Sihir apa yang membuatku termanut-manut saat beliau mengucapkan kalimat
ajakan tersebut? Aduh, betapa bodohnya aku.
Dalam
aroma penyesalan tersebut ternyata terbit sebuah pemandangan yang membuatku
keheranan, tepat setengah perjalanan tiba-tiba hujan berhenti, badai telah
reda! Angin kini semilir, awan pun menyingsing. Ku buka jas hujan yang bau, dan
seketika itu, sentuhan matahari sore membelai wajah ku dengan lembut dan
hangat, kini aku berdamai dengan alam. Tibalah kami di sebuah masjid yang penuh
kaca, namun seketika itu aku merasa heran, karena disana tak ada barisan jemaah
dan gerombolan ibu-ibu yang biasa terlihat pada pengajian umumnya. Di balik
jendela kaca besar, ku hanya menemukan sosok laki-laki berkulit sawo matang
dengan janggut dan peci hitamnya. Abangku menyuruhku menemui laki-laki berpeci
itu sementara ia menunggu di serambi masjid. Dengan rasa penasaran, ku masuki
masjid, ku ucapkan salam dan duduk di hadapan beliau. Saat itulah ku temukan
dua bola mata yang membuatku merasa nyaman menatapnya.
Terkagum aku karena pesona kewibawaannya, terhinggap malu karena luntuk keberanianku, terhenyak batinku dari sepi, saat tatapan terjatuh pada matanya yang bening, dalam dan jauh menyeruak ke dalam lorong jiwaku yang sempit dan gelap, seakan tahu isi setiap detail dalam hati, seakan hafal setiap kata yang tertahan oleh lidah.
Mata yang memahami setiap kata yang tak terucap, mata yang mampu membelokkan saluran irigasi kekesalan yang ingin tumpah ruah karena tak tak tahu kepada siapa lagi jeritan dan kekosongan ini hinggap. Aku benar-benar malu, saat berkas sinar mata itu terpantul sempurna pada cermin kepalaku, membias diantara lensa, iris dan pupil mata hingga terjun ke dalam relung jiwaku yang paling dalam. Berkas sinar itu perlahan merayapi hatiku yang dingin dan gelap, ia memeluk satu pilar saraf yang hampir terputus sehingga tersambung menjadi satu sistem yang utuh dan normal. Rasanya hangat dan cerah, seakan ada mentari harapan yang menyiangi sendi-sendi tubuhku yang aus. Sentuhannya tak asing lagi, tatapan mata yang kelak mengeluarkan uap kebosanan, membuatku bertambah dewasa, membuatku tambah bijaksana.
Mata seorang laki-laki
yang begitu hidup. Inikah mata yang selama ini ku impikan dalam hidup? Mata yang menatap jauh dan dalam. Jauh seiring dengan samudera ilmu yang
ia layari dan begitu dalam bak palung pengalaman hidup yang ia selami. Mata
bening yang penuh ketegasan, kasih sayang dan penuh arti. Inilah pertemuan
pertamaku dengan muysrifku,
selama tiga tahun penuh beliau membimbingku menjalani masa remaja dan SMA yang
berapi-api.
Selang
waktu berjalan, kita tidak menyadari bahwa dunia terus berubah. Waktu pun
seakan kereta listrik raksasa yang tidak akan pernah berlari mundur di atas
rel. Di bawah binaan seorang musyrif,
aku tumbuh menjadi seorang remaja yang mulai mengenal Islam, Islam ideologis
lebih tepatnya. Islam yang tak sekedar mengajari berakhlak manis, Islam yang
tak sekedar mengajari untuk gemar ibadah dan mengaji, namun Islam yang memiliki
konsepsi kehidupan yang mengakar dan menghujam menuntaskan setiap sudut
problematika kehidupan. Islam yang mengajarkanku untuk berpeluh membela umat
yang kini meronta karena tirani demokrasi yang indah namun menipu.
Selama
remaja, aku tumbuh di antara asuhan para aktivis dakwah yang penuh ketulusan
memperjuangkan tegaknya kembali hukum Allah di muka bumi. Tahu kah engkau,
sobat? mereka bukanlah para sarjana lulusan universitas hebat dan terkenal,
mereka bukanlah saudagar kaya raya yang hidup penuh keberlimpahan, tapi mereka
hanyalah para karyawan pabrik yang seminggu bekerja di pagi hingga sore
hari seminggu kemudian bekerja di waktu malam hingga pagi hari, mereka
hanyalah pedagang baso tahu yang berjalan puluhan kilometer mendorong gerobak
reyot, mereka hanyalah supir angkotan kota yang biasa bekerja penuh tekanan dan
kekurangan.
Walau
pun mereka hidup serba kekurangan, namun mereka tak pernah sedikit pun mengeluh
apalagi mencoba untuk berhenti dakwah karena alasan ekonomi. Tidak! Sekali-kali
tidak! Walaupun mereka berprofesi sebagai karyawan pabrik, penjual baso tahu
atau supir, tapi sebenarnya mereka memiliki mental seorang raja, mereka
memiliki mental seorang pejuang. Aku sangat kagum dengan kesederhanaan mereka
dalam berhidup, aku takjub dengan kesabaran mereka ketika menghadapi tantangan
dakwah, aku benar-benar salut atas kesetiaan mereka kepada Allah swt.
Aku
kagum kepada mereka sebagaimana aku kagum kepada abangku yang mengajakku
bergabung di barisan dakwah ini. Herfin Yienda Prihensa, ya itulah nama
lengkapnya, sedikit bernada aneh bukan? Beliau adalah seorang sarjana lulusan
Fisika Unpad angkatan 1997. Aku begitu mengagumi beliau semenjak kecil. Aku
kagum dengan kesabaran dan kesetiaannya dalam membimbingku dan empat saudara
perempuanku. Beliau adalah seorang family
man, yang bekerja sepenuh
hati untuk kebahagiaan orang tua dan adik-adiknya. Meski pun beliau seorang
sarjana, namun beliau tak pernah sungkan untuk berteman dengan lumpur saat
bertani di ladang depan rumah. Bahkan, sebelum diterima sebagai PNS, beberapa
bulan beliau sempat mengisi hari demi harinya dengan berjualan balon tiup
berpasir, berjalan menjajakan balon pasir kepada anak-anak kecil dari satu
kampung ke kampung lain, dari satu desa ke desa lain hanya untuk membantu
ayah- yang sejak tahun 2000 sudah pensiun dari kantor pos- membiayai keperluan
sekolah kami sehari-hari. Begitu beratnya perjuangan beliau saat itu. Sungguh,
jika aku mengingat hari-hari tersebut, aku selalu menangis. Ya Allah,
betapa aku sangat mencintai laki-laki pekerja keras ini. Ya Rabb, betapa aku
mencintai para musyrif-ku.
Aku
benar-benar bahagia, ketika menjalani masa remajaku dengan warna dakwah yang
begitu terang. Hingga tiba satu hari yang istimewa, yakni Konferensi Khilafah
Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno bulan Agustus tahun 2007 silam,
menyaksikan hampir lebih dari seratus dua puluh ribu orang memadati stadion
nasional tersebut sambil memekikkan takbir dan kata Khilafah, membuatku haru dan
menangis semakin dalam. Khilafah begitu terasa dekat, Khilafah rasanya akan
segera tegak. Hari itu betul-betul menjadi turning
point bagiku, menjadi
titik yang mengajari agar aku semakin bersemangat menempuh puncak demi puncak
kehidupanku.
Setelah
itu aku mengikrarkan sebuah azzam kepada Allah, aku berdo’a pun kepada
Allah, jika aku bisa menimba ilmu di tempat yang lebih tinggi, yakni di
perguruan tinggi menjadi seorang mahasiswa, maka aku akan berjuang di barisan
dakwah khilafah, aku akan berjuang terus membela agama Allah.
Satu
tahun berlalu, Allah swt akhirnya mengabulkan permohonanku. Tahun 2008 aku
berhasil menembus SNMPTN menjadi seorang mahasiswa Unpad, seorang mahasiswa
Fisika Unpad. Alhamdulillah,
segala puji bagiMu, ya Rabb. Beginilah Engkau dengan caraMu, Engkau menghadiahkan
kesempatan emas untuk mewujudkan mimpi sekaligus azzamku dalam dakwah.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, satu tahun pun berlalu. Ternyata,
menjadi mahasiswa betul-betul repot dan rumit, repot karena tugas praktikum
yang bertumpuk, rumit akibat bergelut dengan materi yang alot. Belum lagi
dipusingkan dengan keperluan sehari-hari yang harus tersedia. Semua itu
menyimpulkan bahwa dakwah tidak lagi mudah.
Ketika
kita menjadi mahasiswa, kita mulai berfikir dewasa, kita belajar agar tidak bergantung
kepada orang tua lagi, kita harus belajar bertanggung jawab kepada diri kita
sendiri. Disanalah pilihan sulit terkadang kita ambil. Aku tak mau lagi membuat
bapak, ibu dan abang kesusahan memikirkanku. Cukup! Sudah terlalu cukup aku
menyusahkan mereka. Saat itu, aku benar-benar tak punya pilihan lain kecuali
menyibukkan dengan kuliah sambil menjual nasi kuning di dalam kampus untuk
belajar bertanggung jawab atas diri ini. Ini adalah satu pilihan yang berat dan
cukup keliru. Namun apalah daya, sobat. Nasi sudah menjadi bubur, pena sudah
diangkat, dan tinta pun sudah mengering. Selanjutnya, seperti yang ditebak aku
menjelma menjadi mahasiswa kupu-kupu- kuliah-pulang, kuliah-pulang- dan
ternyata aku sukses dalam kuliahku. selama satu tahun IPK ku Cum Laude.
Ternyata,
di balik kepuasan dan kerja keras ku. Satu tahun tersebut aku mengalami kondisi
yang begitu menjemukan. Insting dakwah ku mulai menurun, aku terlarut dalam
rutinitas mahasiswa yang tak lagi peka akan dakwah dan kondisi umat. Hampir di
setiap malam, aku gundah dan gelisah. Susah sekali memicingkan mata untuk tidur
dengan tenang. Saat itu, aku benar-benar mengalami ketakutan yang sangat luar
biasa. Ternyata aku sadar, bahwa aku takut kehilangan Allah. Aku resah
karena takut kehilangan kasih sayang Allah. Aku gundah karena tak mau dilupakan
Allah. Karena aku tak menunaikan azzam yang sempat terucap sewaktu dulu,
azzam untuk menjadi
seorang aktivis dakwah yang membela agamaNya. Tahu kah engkau sobat, jika
Allah sudah melupakan kita, tak kan lagi kita ditolong olehNya, tak lagi
ditegur, tak kan pernah lagi diingatkanNya. Selanjutnya kita akan menjelma
menjadi manusia tersesat di muka bumi, sesesat-sesatnya manusia. Itulah
ketakutan terbesar yang senantiasa hadir dalam relung hatiku.
Aku
jadi teringat tentang atrofi, penyusutan organ atau jaringan akibat jarang
digunakan. Mungkin berkerutnya militansi dakwah yang ku rasakan diakibatkan
minimnya pergesekan pemikiran. Perlahan-lahan, insting dakwah pun menurun
dan hampir lenyap. Aktualisasi diri dalam menimba tsaqofah pun tak segencar
dulu, valensi diri berkurang dan tak lagi berkembang. Seharusnya aku
menyadarinya sewaktu dulu bahwa di balik persimpangan, harusnya ku pilih jalan
dakwah, jalan terang yang abadi. Bukan menyibukkan diri dengan aktivitas yang
kosong dan hampa.
Akhirnya,
bermodal keberanian dan kepercayaan akan pertolongan Allah, ku mulai menata
kembali jejak-jejak dakwah yang mulai terserak. Aku bergabung di barisan
aktivis masjid Kampus, DKM Unpad yang membuatku semakin matang dalam berjuang,
membuatku semakin larut dalam kerinduan atas pahala dan kemenangan yang telah
dijanjikan olehNya. Aku tumbuh dan berkembang di sini, meluapkan semangat dan
keimanan yang mulai tumpah ruah. Alhamdulillah,
hingga kisah ini ku goreskan, aku mendapatkan berkali-kali pertolongan berupa
Beasiswa dan kemudahan maisyah lainnya. Ini adalah pertolongan Allah
swt atas permintaanku yang kedua. Alhamdulillah.
Semakin malam, semakin larut, semakin dingin, semakin gelap dan pekat. Semakin
naik ke atas semakin tinggi halangan, semakin banyak rintangan. Waktu
untuk bersantai semakin berkurang, artinya pertolongan Allah semakin dekat!
Ketika semuanya menjadi sulit, rumit tak terlihat pangkalnya. Di situlah letak
jalan keluar berada, di sanalah rahasia kemudahan itu tersembunyi, yang harus
kita lakukan adalah terus melangkah, mencari satu jalur cahaya yang ada di
depan kita, kita gagal lalu terjatuh, kita bangkit dan lakukan lagi. Jatuh dan
bangkit lagi, gagal, kemudian berhasil, begitulah hidup, sobat. Disanalah Allah
melihat kesungguhan kita, itulah alasan Allah menurunkan pertolonganNya untuk
kita.
Ini adalah saat dimana aku tak boleh kembali lagi kepada pilihan keliru yang
membuatku jauh dari Allah swt, ini adalah point
of no return! Ketika keimanan mulai berkerut, letih, penat dan tergoda
dunia, maka ku selalu mengingat titik ini. Titik dimana seluruh harga diri dan
kehormatan kita dipertaruhkan di hadapan seluruh penghuni langit, titik yang
akan menentukan sejauh mana kegigihan kita dalam berjuang, titik yang akan
menentukan derajat kemuliaan kita di hadapan Allah swt. Untuk meraih kemuliaan
tersebut, tentu tak semudah mencengram batu kerikil dalam genggaman. Perlu
pengorbanan, perlu perjuangan, perlu kesabaraan dan kesetiaan. Diperlukan
totalitas sebagaimana yang pernah Rasulullah saw ucapkan pada Khadijah tercinta
tatkala menerima wahyu yang pertama. “laa roohatan ba’dal yaum, ya Khadijah,
Tak ada lagi waktu untuk beristirahat setelah hari ini, wahai Khadijah.”
Begitu pula dalam kisah perjalanan hidup kita, sobat. Di puncak kehidupan
nanti, ada tujuan yang ingin kita raih, ada tempat yang kita nanti. Di sana lah
kita boleh berhenti. Bukankah tujuan kita demi meraih ridha dan cinta Allah swt
yang hakiki, bukankah ada telaga Jannah yang kita nanti. Tapi mengapa, ridha
manusia yang terkadang kita cari? Tapi kenapa, terkadang panggilan syurga yang
sering kita khianati?
Semoga Allah swt menganugerahkan kepada kita singgasana keimanan yang kokoh,
mahkota ketakwaan yang terus bercahaya, serta tekad dakwah yang tiada
dapat ditundukkan. Semoga kita semua tiada pernah mencoba untuk berbalik dari
jalan ini, Point of no return.
Wallahu’alam
bi ash-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar