expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

beres

Kamis, 21 Maret 2013

Dari Imam Syafi'i Kita Belajar



ilustrasi gambar :  Lukisan Dakwah Islam

Alkisah, ada seorang pemuda yang dikenal dengan kegigihannya dalam belajar dan semangatnya yang sangat besar untuk menuntut ilmu. Ia lahir pada tahun 150 Hijriyah, tahun wafatnya seorang ulama besar di bidang fiqh, yakni  Imam Abu Hanifah. Siapa yang dapat menduga, karena kecintaanya yang teramat besar terhadap ilmu, kelak pemuda ini menjadi Imam bagi mazhab yang diikuti oleh 28% umat Islam sedunia sekaligus imam bagi mazhab terbesar kedua setelah mazhab Hanafi. Pemuda itu bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah, yang saat ini kita kenal sebagai Imam Syafi'i.  

Sejak kecil Syafi'i muda telah menjadi yatim dan hidup bersama ibunya di sebuah wilayah di negeri Hijaz. Ibu Imam Syafi'i adalah wanita yang tekun ibadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Hingga usia beliau menginjak 10 tahun,  sang ibu memutuskan untuk membawa Syafi'i ke Mekkah karena khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan. Di Mekkah, Imam Syafi'i dikirim belajar kepada seorang guru, sebenarnya sang ibu tidak mampu membiayainya, namun guru tersebut menolak untuk dibayar setelah melihat kecerdasan dan kehebatan Imam Syafi'i muda dalam menghafal. Meski pun hidup dalam kemisikinan, Imam Syafi'i tidak berputus asa, ia mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit dan tulang hingga tempayan milik ibunya untuk dipakai menulis hadits. Beliau telah hafal Qur'an pada usia 7 tahun. Menakjubkan!

Waktu pun terus berlalu, Syafi'i muda tumbuh dalam lansekap kehidupan kota Mekkah yang kaya akan khazanah pengetahuan. Ia telah banyak belajar ilmu fiqh, lughoh, hadits dibawah bimbingan para ulama Mekkah. Hingga akhirnya tibalah waktu yang dinantikan itu, saat-saat yang akan dikenang oleh Imam Syafi'i sebagai momentum sekaligus awal perjumpaan beliau dengan sosok ulama yang dikagumi dan dicintainya, Imam Malik. Pertemuan tersebut telah menghubungkan titik-titik perjalanan ilmu yang telah dilaluinya menjadi sebuah kurva ekstrapolasi yang menukik. 

Saat itu tahun 170 Hijiryah, berbekal hafalan Kitab al-Muwaththa karya Imam Malik, beliau pergi dari Mekkah menuju Madinah demi menemui sang Imam, berharap dapat berguru kepada beliau. Setelah berhadapan dengan Imam Malik, beliau membacakan hafalan al-Muwaththa. Imam Malik pun takjub, bukan hanya karena hafalan Imam Syafi'i yang begitu kuat namun beliau melihat ada sebuah perhiasan berharga dalam diri beliau, perhiasan yang memunculkan rona cahaya melebihi kemilau intan dan permata, yakni perangai takwa dan perhiasan jiwa Imam Syafi'i yang gigih mencari ilmu. Saat itu, usia Imam Syafi'i masih 20 tahun, tapi ilmu dan wibawanya jauh melampaui orang-orang diatas usianya. 

Imam Syafi'i hidup dalam keindahan ilmu bersama Imam Malik hingga meninggalnya sang Imam pada tahun 179 Hijriyah. Begitu besar rasa cinta dan rasa hormat Imam Syafii kepada Imam Malik sehingga beliau sangat berduka setelah ditinggal pergi Imam Malik. Beliau melanjutkan dakwah Islam dan menebar ilmu ke Irak hingga Mesir . Beliau meninggal pada usia 54 tahun, yakni pada tahun 204 Hijriyah setelah menulis ratusan kitab tentang fiqh, adab dan tafsir. 


 Ar-Rabi menyampaikan bahwa beliau bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Ar-Rabi berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”. 

Demikianlah, sepenggal kisah hidup seorang ulama besar yang kaya akan wibawa telah mengajari kita untuk senantiasa belajar dan bersemangat mencari ilmu Allah. Beliau telah mengajarkan setiap muslim untuk menjadikan aktivitas belajar dan dakwah sebagai puncak aktivitas di atas rutinitas mencari maisyah atau kuliah. Namun, sayang diantara banyak para pengemban dakwah, hanya sebagian kecil yang mengerti. Di antara sebagian kecil, lebih sedikit lagi yang memahami. Di antara yang lebih sedikit itu, lebih sedikit lagi yang mengamalkan.

Coba perhatikan, betapa kita memahami bahwa salah satu faktor penyebab kemunduran umat adalah tatkala ditinggalkannya bahasa arab, bahwa mempelajari bahasa arab adalah hal mutlak yang harus dilakukan, namun entah seberapa banyak diantara kita yang bermalas-malasan mempelajari bahasa arab namun malah rela menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk mempelajari bahasa Inggris demi mengejar skor TOEFL di atas 550. Betapa kita memahami bahwa al-Qur'an yang kita hafalkan kelak akan menjadi penerang kita di alam kubur yang gelap nan gulita dan menyelamatkan kita dari pedihnya azab Allah swt, namun banyak diantara kita yang bermalas-malasan untuk menambah hafalan Qur'an walau satu atau dua ayat saja sehari. Sebaliknya,  bersemangat dalam menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjadi seorang expertise dalam bidang entrepreneur atau bidang akademik demi mengejar ambisi karir. Astaghfirullah!        

Hidup adalah pilihan. Pilihan atas keterpaksaan dan keberanian. Kita harus memaksakan diri kita untuk berani melangkah dari zona nyaman yang hanya membuat kita merasa cukup dengan melakukan sedikit amal shaleh. Kita harus mengoptimalkan usia muda yang kita miliki untuk menambah valensi serta nilai diri yang kita miliki. Jangan pernah berpuas diri dengan sebatas pandai mengaji atau berkumpul dengan orang-orang yang shaleh saja. Bukankah bunga mawar terus bersemi dan mewangi walau pucuk tanaman lain mekar dan berbuah? Belajarlah dari tanaman. Ia tumbuh dan berkembang, perlahan-lahan namun pasti hingga akhirnya akarnya kuat mencengkram, batangnya kokoh, rantingnya menjelajahi setiap langit dan buahnya ranum di setiap musim.    

Sebagai penutup, mari kita simak perkataan Imam Syafii yang cukup mahsyur tentang ilmu.  Beliau berkata : 

“Aku mengadukan perihal keburukan hafalanku kepada guruku, Imam Waki’ bin Jarrah. Guruku lalu berwasiat agar aku menjauhi maksiat dan dosa. Guruku juga berkata, ‘Muridku, ketahuilah bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat.’”

Itulah nasihat yang patut kita renungkan karena kandungannya yang begitu mendalam dan penuh makna. Mungkin, dibalik kesulitan kita dalam mempelajari bahasa arab, dibalik lemahnya kita menjaga hafalan Al-Qur'an, serta kurangnya kita dalam  upaya memahami ilmu agama, ada kemaksiatan yang menyebabkan Allah tidak menganugerahkan cahayaNya kepada kita. Lalai dalam amanah, berleha-leha dalam dakwah, menyepelakan himmah, atau kemaksiatan lain yang tidak kita sadari. Naudzubillah.  

Semoga Allah swt menganugerahkan kepada kita bahtera keistiqomahan untuk mengarungi lautan ilmu Allah yang begitu luas. Semoga Allah swt menganugerahkan kepada kita mahkota keimanan agar kita dapat taat dalam kesabaran ketika mendaki menara kehidupan. Semoga besarnya ekspektasi umat kepada kita disertai dengan niat dan amalan yang benar. Semoga setiap niat yang baik ada yang menyertai.

Sahabat, mari kita berbenah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar